Pages

Subscribe:

Blogroll

Minggu, 27 November 2011

Legenda Gunung Arjuno




        Gunung Arjuno (atau Gunung Arjuna) terletak di Malang, Jawa Timur, bertipe Strato dengan ketinggian 3.339 m dpl.Biasanya gunung ini dicapai dari tiga titik pendakian yang cukup dikenal yaitu dari Lawang, Tretes dan Batu.
        Gunung Arjuna bersebelahan dengan Gunung Welirang. Puncak Gunung Arjuna terletak pada satu punggungan yang sama dengan puncak gunung Welirang. Selain dari dua tempat diatas Gunung Arjuna dapat didaki dari berbagai arah yang lain. Gunung yang terletak di sebelah barat Batu, Malang - Jawa Timur ini juga merupakan salah satu tujuan pendakian. Disamping tingginya yang telah mencapai lebih dari 3000 meter, di gunung ini terdapat beberapa objek wisata. Salah satunya adalah objek wisata air terjun Kakek Bodo yang juga merupakan salah satu jalur pendakian menuju puncak Gunung Arjuna. Meskipun selain objek wisata air terjun Kakek Bodo terdapat pula air terjun lain, tetapi para wisatawan jarang yang mendatangi air terjun lainnya, mungkin karena letak dan sarana wisatanya kurang mendukung.
         Gunung Arjuna mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan Hutan Ericaceous atau hutan gunung.Pada jaman dulunya bahkan samapi sekarang Masyarakat Jawa percaya bahwa kisah dalam wayang adalah kejadian sebenarnya yang terjadi di tanah Jawa. Para dewa-dewa pun diyakini bersemayam di puncak-puncak gunung. Gunung Arjuna memiliki ketinggian 3.339 meter dari permukaan laut, namun menurut legenda, dahulu tinggi gunung ini hampir menyentuh langit. Karena perbuatan Arjuna maka gunung ini tingginya menjadi berkurang. Arjuna adalah seorang ksatria Pendawa yang gemar bertapa, yang biasanya bertujuan untuk memperoleh kesaktian dan pusaka supaya dapat memenangkan perang Baratayudha.
         Arjuna bertapa di puncak sebuah gunung dengan sangat tekunnya, hingga berbulan - bulan. Karena ketekunannya hingga tubuhnya mengeluarkan sinar yang memiliki kekuatan yang sangat luar biasa. Karena perbawanya yang hebat jika burung berani terbang di atasnya pastilah jatuh tersungkur. Makhluk apapun tak berani mengganggu.
       Begitu khusuknya Arjuna bersemedi hingga menimbulkan goro-goro di Kahyangan Suralaya, Kahyangan geger. Kawah condrodimuko mendidih menyemburkan muntahan lahar. Bumi bergoncang, Petir menggelegar di siang bolong, terjadi hujan salah musim hingga menimbulkan banjir, menyebarkan penyakit, orang yang sore sakit pagi mati, pagi sakit sore mati. Bahkan gunung tempatnya bertapa menjadi terangkat menjulang ke langit.
       Para Dewa sangat kuatir, mereka berkumpul mengadakan sidang dipimpin oleh Batara Guru. "Ada apa gerangan yang terjadi di Marcapada , kakang Narada. Hingga Kahyangan menjadi geger" sabda Batara Guru, sebagai kata pembuka meskipun sebenarnya dia sudah mengetahui jawabannya.
       Akhir dari Sidang Paripurna Para Dewa memutuskan bahwa hanya Batara Narada lah yang bakal sanggup menyelesaikan masalah. Seperti biasanya Bidadari cantikpun tak akan sanggup membangunkan tapa Arjuna. Batara Narada segera turun ke Marcapada, mencari titah yang menjadi sumber goro-goro. Sesaat ia terbang, ngiter-ngiter di angkasa.
       Dilihatnya Arjuna sedang bertapa di puncak gunung. Bersabdalah Batara Narada "Cucuku Arjuna bangunlah dari tapamu, semua orang bahkan para Dewa akan menjadi celaka bila kau tak mau menghentikan tapa mu". Arjuna mendengar panggilan tersebut, karena keangkuhannya jangankan bangun dari tapanya, justru dia malah semakin tekun. Dia berfikir bila dia tidak mau bangun pasti Dewa akan kebingungan dan akan menghadiahkan banyak senjata dan kesaktian.
       Betara Narada gagal membangun kan tapa Arjuna, meskipun dia sudah menjanjikan berbagai kesaktian. Dengan bingung dan putus asa, segera terbang kembali ke Kahyangan. Sidang susulanpun segera di gelar untuk mencari cara bagaimana menggulingkan sang Arjuna dari tapanya.
       Akhirnya di utuslah Batara Ismaya yang sudah menjelma menjadi Semar untuk membangunkan tapa Arjuna. Bersama dengan Togog berdua mereka segera bersemedi dimasing-masing sisi gunung tempat Arjuna bertapa. Berkat kesaktian mereka tubuh mereka berubah menjadi tinggi besar hingga melampaui puncak gunung. Lalu mereka mengeruk bagian bawahnya dan memotongnya. Mereka melemparkan puncak gunung itu ketempat lain.
       Arjuna segera terbangun dari tapanya. Dan memperoleh nasehat dari Semar bahwa tindakannya itu tidak benar. Gunung tempat Arjuna bertapa itu diberi nama Gunung Arjuna. Potongan gunung yang di lempar diberi nama Gunung Wukir.
      Gunung Arjuna dapat didaki dan berbagai arah, arah Utara (Tretes) melalui Gunung Welirang,dan arah Timur (Lawang) dan dari arah Barat (Batu-Selecta), dan arah selatan (Karangploso), juga dari kecamatan Singosari melalui desa Sumberawan. Desa Sumberawan adalah desa pusat kerajinan tangan di kecamatan Singosari, Malang dan merupakan desa terakhir untuk mempersiapkan diri sebelum memulai pendakian.

Legenda Gunung Bromo

           Konon saat dewa-dewa masih suka turun ke bumi, kerajaan Majapahit mengalami serangan dari berbagai daerah. Penduduk bingung mencari tempat pengungsian, demikian juga dengan dewa-dewa. Pada saat itulah dewa mulai pergi menuju ke sebuah tempat, disekitar Gunung Bromo.
Gunung Bromo masih tenang, tegak diselimuti kabut putih. Dewa-dewa yang mendatangi tempat di sekitar Gunung Bromo, bersemayam di lereng Gunung Pananjakan. Di tempat itulah dapat terlihat matahari terbit dari Timur dan terbenam di sebelah Barat.
          Di sekitarGunung Penanjakan, tempat dewa-dewa bersemayam, terdapat pula tempat pertapa. Pertapa tersebut kerjanya tiap hari hanyalah memuja dan mengheningkan cipta. Suatu ketika hari yang berbahagia, istri itu melahirkan seorang anak laki-laki. Wajahnya tampan, cahayanya terang, dan merupakan anak yang lahir dari titisan jiwa yang suci. Sejak dilahirkan, anak tersebut menampakkan kesehatan dan kekuatan yang luar biasa. Saat ia lahir, anak pertapa tersebut sudah dapat berteriak. Genggaman tangannya sangat erat, tendangan kakinya pun kuat dan tidak seperti anak-anak lain. Bayi tersebut dinamai Joko Seger, yang artinya Joko yang sehat dan kuat.
        Di tempat sekitar Gunung Pananjakan, pada waktu itu ada seorang anak perempuan yang lahir dari titisan dewa. Wajahnya cantik dan elok. Dia satu-satunya anak yang paling cantik di tempat itu. Ketika dilahirkan, anak itu tidak layaknya bayi lahir. Ia diam, tidak menangis sewaktu pertama kali menghirup udara. Bayi itu begitu tenang, lahir tanpa menangis dari rahim ibunya. Maka oleh orang tuanya, bayi itu dinamai Rara Anteng.
        Dari hari ke hari tubuh Rara Anteng tumbuh menjadi besar. Garis-garis kecantikan nampak jelas diwajahnya. Termasyurlah Rara Anteng sampai ke berbagai tempat. Banyak putera raja melamarnya. Namun pinangan itu ditolaknya, karena Rara Anteng sudah terpikat hatinya kepada Joko Seger.
Suatu hari Rara Anteng dipinang oleh seorang bajak yang terkenal sakti dan kuat. Bajak tersebut terkenal sangat jahat. Rara Anteng yang terkenal halus perasaannya tidak berani menolak begitu saja kepada pelamar yang sakti. Maka ia minta supaya dibuatkan lautan di tengah-tengah gunung. Dengan permintaan yang aneh, dianggapnya pelamar sakti itu tidak akan memenuhi permintaannya. Lautan yang diminta itu harus dibuat dalam waktu satu malam, yaitu diawali saat matahari terbenam hingga selesai ketika matahari terbit. Disanggupinya permintaan Rara Anteng tersebut.
         Pelamar sakti tadi memulai mengerjakan lautan dengan alat sebuah tempurung (batok kelapa) dan pekerjaan itu hampir selesai. Melihat kenyataan demikian, hati Rara Anteng mulai gelisah. Bagaimana cara menggagalkan lautan yang sedang dikerjakan oleh Bajak itu? Rara Anteng merenungi nasibnya, ia tidak bisa hidup bersuamikan orang yang tidak ia cintai. Kemudian ia berusaha menenangkan dirinya. Tiba-tiba timbul niat untuk menggagalkan pekerjaan Bajak itu.
         Rara Anteng mulai menumbuk padi di tengah malam. Pelan-pelan suara tumbukan dan gesekan alu membangunkan ayam-ayam yang sedang tidur. Kokok ayam pun mulai bersahutan, seolah-olah fajar telah tiba, tetapi penduduk belum mulai dengan kegiatan pagi.
Bajak mendengar ayam-ayam berkokok, tetapi benang putih disebelah timur belum juga nampak. Berarti fajar datang sebelum waktunya. Sesudah itu dia merenungi nasib sialnya. Tempurung (Batok kelapa) yang dipakai sebagai alat mengeruk pasir itu dilemparkannya dan jatuh tertelungkup di samping Gunung Bromo dan berubah menjadi sebuah gunung yang dinamakan Gunung Batok.
       Dengan kegagalan Bajak membuat lautan di tengah-tengah Gunung Bromo, suka citalah hati Rara Anteng. Ia melanjutkan hubungan dengan kekasihnya, Joko Seger. Kemudian hari Rara Anteng dan Joko Seger sebagai pasangan suami istri yang bahagia, karena keduanya saling mengasihi.
      Pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger membangun pemukiman dan kemudian memerintah di kawasan Tengger dengan sebutan Purbowasesa Mangkurat Ing Tengger, maksudnya “Penguasa Tengger Yang Budiman”. Nama Tengger diambil dari akhir suku kata nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Kata Tengger berarti juga Tenggering Budi Luhur atau pengenalan moral tinggi, simbol perdamaian abadi.
       Dari waktu ke waktu masyarakat Tengger hidup makmur dan damai, namun sang penguasa tidaklah merasa bahagia, karena setelah beberapa lama pasangan Rara Anteng dan Jaka Tengger berumahtangga belum juga dikaruniai keturunan. Kemudian diputuskanlah untuk naik ke puncak gunung Bromo untuk bersemedi dengan penuh kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa agar karuniai keturunan.
        Tiba-tiba ada suara gaib yang mengatakan bahwa semedi mereka akan terkabul namun dengan syarat bila telah mendapatkan keturunan, anak yang bungsu harus dikorbankan ke kawah Gunung Bromo, Pasangan Roro Anteng dan Jaka Seger menyanggupinya dan kemudian didapatkannya 25 orang putra-putri, namun naluri orang tua tetaplah tidak tega bila kehilangan putra-putrinya. Pendek kata pasangan Rara Anteng dan Jaka Seger ingkar janji, Dewa menjadi marah dengan mengancam akan menimpakan malapetaka, kemudian terjadilah prahara keadaan menjadi gelap gulita kawah Gunung Bromo menyemburkan api.
        Kesuma anak bungsunya lenyap dari pandangan terjilat api dan masuk ke kawah Bromo, bersamaan hilangnya Kesuma terdengarlah suara gaib :”Saudara-saudaraku yang kucintai, aku telah dikorbankan oleh orang tua kita dan Hyang Widi menyelamatkan kalian semua. Hiduplah damai dan tenteram, sembahlah Hyang Widi. Aku ingatkan agar kalian setiap bulan Kasada pada hari ke-14 mengadakan sesaji kepada Hyang Widi di kawah Gunung Bromo. Kebiasaan ini diikuti secara turun temurun oleh masyarakat Tengger dan setiap tahun diadakan upacara Kasada di Poten lautan pasir dan kawah Gunung Bromo.

Sabtu, 26 November 2011

Grand Final Lomba Takbiran se Mojokerto



        Hari raya idul Adha termasuk hari yang di tunggu - tunggu oleh umat muslim Indonesia, bahkan dunia. Di samping itu , ada juga yang merayakannya dengan mengadakan lomba ataupun sejenisnya. Kemaren Departemen Agama Kabupaten Mojokerto merayakan idul adha tahun ini dengan mengadakan lomba takbiran tingkat SLTP dan SMA sederajat se Kab Mojokerto. Pondok Pesantren Al Amin pun juga ikut berpartisipasi mengikuti lomba tersebut, yang diwakili oleh MTs Al Amin Putra dan MA Al Amin Putri. Keduanya lolos dan berhak mengikuti final di pendopo Mojokerto setelah mengikuti seleksi di Aula Departemen Agama Mojokerto.



      
        Tepat malam takbiran, grand final pun di laksanakan di pendopo Kab Mojokerto. Banyak peserta yang menggunakan alat - alat modern, seperti trio drum band dan sejenisnya. Pukul 19.30 acara pun di mulai dengan penampilan dari MTs Al Amin Sooko Mojokerto Putra , sedangkan MA Al Amin Putri tampil dengan nomor urut dua, tingkat SMA sederajat.
     

         Akhirnya semuanya berakhir tepat pukul 23.00, SMPN 2 Sooko berhasil menjadi juara pertama lagi setelah menjuarainya ditahun sebelumnya. SMPN Kemlagi menyusul sebagai juara kedua, dan MTs Mojosari bertengger di posisi ketiga. Sedangkan MTs Al Amin mendapatkan harapan dua di penampilan perdananya ini. MA Al Amin Putri berhasil mempertahankan juara tahun lalu, yakni juara tiga.
      

Jumat, 25 November 2011

Legenda Gunung Semeru

         Menurut kepercayaan masyarakat Jawa yang ditulis pada kitab kuno abad 15, Pulau Jawa pada suatu saat mengambang di lautan luas, dipermainkan ombak kesana-kemari. Para Dewa memutuskan untuk memakukan Pulau Jawa dengan cara memindahkan Gunung Meru di India ke atas Pulau Jawa.
Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor kura-kura raksasa menggendong gunung itu dipunggungnya, sementara Dewa Brahma menjelma menjadi ular panjang yang membelitkan tubuhnya pada gunung dan badan kura-kura sehingga gunung itu dapat diangkut dengan aman.
        Dewa-Dewa tersebut meletakkan gunung itu di atas bagian pertama pulau yang mereka temui, yaitu di bagian barat Pulau Jawa. Tetapi berat gunung itu mengakibatkan ujung pulau bagian timur terangkat ke atas. Kemudian mereka memindahkannya ke bagian timur pulau tetapi masih tetap miring, sehingga Mereka memutuskan untuk memotong sebagian dari gunung itu dan menempatkannya di bagian barat laut.
        Penggalan ini membentuk Gunung Pawitra, yang sekarang dikenal dengan nama Gunung Pananggungan, dan bagian utama dari Gunung Meru, tempat bersemayam Dewa Shiwa, sekarang dikenal dengan nama Gunung Semeru. Pada saat Sang Hyang Siwa datang ke pulau jawa dilihatnya banyak pohon Jawawut, sehingga pulau tersebut dinamakan Jawa.
        Lingkungan geografis pulau Jawa dan Bali memang cocok dengan lambang-lambang agama Hindu. Dalam agama Hindu ada kepercayaan tentang Gunung Meru, Gunung Meru dianggap sebagai rumah para dewa-dewa dan sebagai sarana penghubung diantara bumi (manusia) dan Kayangan. Kalau manusia ingin mendengar suara dewa mereka harus semedi di puncak Gunung Meru. Banyak masyarakat Jawa dan Bali sampai sekarang masih menganggap gunung sebagai tempat kediaman Dewa-Dewa atau mahluk halus. Selanjutnya daerah bergunung-gunung masih dipakai oleh manusia Jawa sebagai tempat semedi untuk mendengar suara gaib.
        Menurut orang Bali Gunung Mahameru dipercayai sebagai Bapak Gunung Agung di Bali dan dihormati oleh masyarakat Bali. Upacara sesaji kepada para dewa-dewa Gunung Mahameru dilakukan oleh orang Bali. Betapapun upacara tersebut hanya dilakukan setiap 8-12 tahun sekali hanya pada waktu orang menerima suara gaib dari dewa Gunung Mahameru. Selain upacara sesaji itu orang Bali sering datang ke daerah Gua Widodaren untuk mendapat Tirta suci.
       Orang naik sampai puncak Mahameru ada yang bertujuan untuk mendengar suara-suara gaib. Selain itu juga ada yang memohon agar diberi umur yang panjang. Bagaimanapun alasan orang naik ke puncak Mahameru, kebanyakan orang ditakutkan oleh macam-macam hantu yang mendiami daerah keliling gunungnya. Hantu-hantu tersebut biasanya adalah roh leluhur yang mendiami tempat seperti hutan, bukit, pohon serta danau.

       Roh leluhur biasanya bertujuan menjaga macam-macam tempat dan harus dihormati. Para pendaki yang menginap di danau Ranu Kumbolo sering melihat hantu Ranu Kumbolo. Tengah malam ada cahaya berwarna orange di tengah danaunya dan tiba-tiba berubah wujud menjadi sesosok hantu wanita. Biasanya hanya orang yang punya kekuatan mistis dia akan melihat hantu dan dapat bicara dengan hantu. Terserah orang percaya pada hantu atau tidak tetapi banyak orang Jawa yang percaya bahwa daerah Bromo, Tengger, Semeru banyak didiami oleh hantu-hantu.

Minggu, 20 November 2011

Asal Mula Seni Bantengan Pacet

1. Sejarah
Lahirnya kesenian bantengan ada dua versi
a.Berasal dari Batu
b. Berasal dari Claket (Made) dan berkembang pesat di Pacet
a. Berasal dari kota Batu. Menurut catatan yang bersifat dari mulut ke mulut dimulai dari seorang tua bernama Pak Saimin berasal dari Batu seorang pendekar membawa kesenian ini dan bergabung dengan Pak Saman (kelompok Siliwangi) dari Pacet dan berkembang di Pacet sampai sekarang ini.
b.Berasal dari Pacet. Menurut cerita dari Pak Amir anak dari Mbah Siran yang menghidupkan kesenian Bantengan ini sampai sekarang di Claket. Akhirnya kesenian ini hidup subur sampai sekarang di Pacet dan Claket
Kedua versi itu sulit dilacak kebenarannya, mana yang lahir lebih dulu. Tetapi jelas sekali tempat yang terus melestarikan kesenian Bantengan ini adalah Pacet (sering mengadakan Festival Bantengan dan upacara tetap setiap memperingati hari kemerdekaan RI), cara swasembada layaknya kesenian tradisional lainnya di Indonesia.
Kedua versi itu masuk akal kalau dihubungkan dengan geografi kedua kawasan itu. masih banyak terdiri dari hutan belantara dan gunung. Sudah tentu Bantengan itu identik dengan hutan.
Menurut cerita Pak Amir (tokoh Bantengan) dan beberapa tokoh bantengan yang lain, seni Bantengan ini asal mulanya dari seni persilatan yang tumbuh subur di surau-surau atau langgar (mushollah).
Kesenian Bantengan ini awalnya untuk beladiri bagi pemuda di surau-surau. Tetapi akhirnya menjadi kegiatan seni untuk merayakan upacara perkawinan, sunatan atau bersih desa.
Pemikiran manusia terus berkembang, begitu juga perkembangan kesenian termasuk seni “Kitch” atau seni bawah/ tradisional.
Seni yang hidup turun temurun dari rakyat. Pencak silat itu akhirnya tidak banyak diminati masyarakat luas karena membosankan dan tidak menarik lagi.
Para pendekar mencari alternatif lain agar kesenian itu diminati lagi. Begitu sederhana sekali perjalanan kesenian Bantengan ini.
Suatu ketika Mbah Siran dari Claket itu menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi sungai Kromong tepi hutan. Konon kabarnya ini terjadi karena perkelahian dua ekor banteng. Seekor kalah dan mati menjadi bangkai. Supaya tidak mubazir oleh Mbah Siran bangkai banteng ini diambil khusus kepalanya (tengkoraknya) dibersihkan dan dibawa pulang.
Kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah, sampai sekarang masih banyak terdapat di rumah-rumah lama sebagai lambang atau simbol keberadaan seseorang, tetapi tengkorak banteng yang berkesan gagah dan berwibawa ini mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian Bantengan yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang langsung diambil untuk dipakai sebagai “topeng” Bantengan itu melengkapi seni pencak silat dan akhirnya karena menarik, hanya Bantengan saja yang lestari sampai sekarang. Bantengan berdiri sendiri tanpa pencak silat lagi.
Akhirnya Bantengan ini menjadi cabang seni rakyat atau tradisional yang amat digemari masyarakat, meskipun sampai sekarang Pemerintah Kabupaten Mojokerto sendiri belum pernah ada usaha untuk mengangkat seni rakyat ini menjadi sebuah kebanggaan yang akhirnya bisa menjadi ikon untuk Kabupaten Mojokerto.
Mereka hidup sendiri dan ini perlu ditangani secara lebih serius agar tidak tertatih-tatih berjalan sendiri tanpa penanganan yang jelas meskipun diam-diam ia telah mengangkat citra sebuah kota dalam bidang kesenian dan kebudayaan. Barangkali ini sebuah landasan pemikiran tentang sebuah IKON.
2. Bantengan Masa Sekarang
Group Bantengan di Kabupaten Mojokerto awalnya banyak sekali. Menurut catatan, dulu sampai sekarang ke daerah Gondang, Kutorejo dan Tlagan. Bahkan menurut berita dari mulut ke mulut ada juga yang masih hidup di daerah Pandan dan Wonosalam serta di kota kecil Dinoyo. Tetapi yang jalan sampai sekarang hanya Kec. Pacet dan Claket saja. Tak salah kalau banyak orang yang mengatakan bahwa Bantengan kesenian milik Pacet. Atau saling berebut antara kota Batu dan Pacet mana yang lebih dulu melahirkan Bantengan ini tetapi ini sulit dilacak kebenarannya. Mengapa demikian?
Barangkali memang benar kesenian ini dari sana dan secara geografis (Batu dan Pacet) masyarakatnya amat mendukung, hutan dan gunung. Masyarakat Pacet dan Claket memang merasa memiliki seni ini turun temurun yang di “leluri” sebagai penghargaan kepada penemu atau pencipta serta penerus sini Bantengan ini.
Akhirnya topeng Bantengan yang awalnya dari tengkorak banteng asli diganti dengan topeng buatan yang dibuat dari kayu. Ditakutkan akan terjadi perburuan liar untuk menembak banteng, meskipun akhirnya banteng itu punah dengan sendirinya.
Seni Bantengan ini terdiri dari dua pemain yang berperan menjadi seekor banteng. Pemain depan dengan dua laki-laki bertugas menjadi dua kaki banteng di depan, dan kaki milik pemain yang lain bertugas sebagai dua kaki banteng bagian belakang. Tubuh banteng dibentuk dari selembar kain hitam yang menghubungkan kepala banteng dengan ekor banteng yang dimainkan oleh pemain yang di belakang (lihat gambar).












Kedua pemain harus kompak bermain. Bagaimana mereka harus bermain menjadi satu tubuh, satu jiwa, satu karakter, satu roh, layaknya pemain double dalam bulu tangkis Ricky Subagya dan Rexy Meinaky. Teknik mereka memaunkan Bantengan memang ada dasar-dasar tertentu.
Meskipun sebagai seni tradisi yang bersifat seni perlawanan, rasa jiwa, spontanitas “berimprovisasi” layaknya dalam musik jazz ikut mendominasi gerakan-gerakan mereka. Kalau diuraikan secara teori menurut pakar Bantengan memang ada gerakan-gerakan tertentu, misalnya : langkah dua ekor banteng , laku lombo gedong, junjungan, geser, banteng turu (tidur), perang dengan macan (harimau) atau dengan naga, banteng nginguk (melirik), tubrukan dengan macan. Macan pun punya gerakan begitu, juga gerakan pendekar.
Sekarang Bantengan pun tidak sja hanya banteng, tapi bisa juga melibatkan beinatang-binatang lain penghuni hutan (disbet buron alas). Menurut cerita mereka (penggarap Bantengan), banteng adalah simbol pengayom atau pelindung binatang-binatang lain di hutan. Ini sebuah proses panjang yang tidak bisa kita ketahui di mana mereka akan bermuara, karena pemikiran manusia itu terus berkembang (misalnya perkembangan pementasan wayang Purwo atau wayang Kuli), beladiri lewat persilatan, kemudian berubah menjadi Bantengan. Banteng musuh banteng, akhirnya banteng melawan macan, melawan ular naga, melawan kera dan melawan binatang-binatang lain (buron wana). Ini semua karena tuntutan untuk lebih menarik bagi para penonton saja.
Di tahun 2008 kebetulan penulis memiliki kesenian di Desa Kesimantengah Kec. Pacet yang bernama Cakra Buana Sakti. Dengan adanya kesenian ini terbukti banyak peminat dari banyaknya penjual VCD bantengan dengan omset yang cukup besar. Dan tiap tahun selalu diadakan karnaval memperingati kemerdekaan RI.
Banteng mungkin melawan harimau atau macan (masih ingat lukisan R. Saleh tentang banteng melawan harimau) simbol bangsa Indonesia melawan kolonialisme Belanda. Atau banteng melawan ular naga (simbol dari angkara murka) dan ini mungkin lebih menarik karena gerakan ular naga sendiri pasti lebih artistik dan atraktif apalagi saat melawan banteng.
Banteng bukan milik PDI atau partai-partai lain. Kita harus berpikir bersih dan bening demi seni dan bangsa serta kemanusiaan.
Pakaiannya barangkali bisa lebih digarap lagi supaya warna hitam (tubuh banteng) yang dominan adalah warna dasar yang akan lebih hidup. Ketika “uborampe”nya digarap mulai dari topeng, tubuh banteng dengan ornamen warna Mojopahit untuk menghias kepala banteng, tubuh banteng serta pakaian pendekar atau penabuh gamelan pasti akan lebih menarik lagi (warna gula kelapa) terasa ada garapan. Untuk musik barangkali tak perlu mendapat pembenahan yang mendasar karena musik yang terdiri dari gendang, jidor, gong. Kethe sebagai melodi sudah bisa mewakili bunyi serta ritme yang diharapkan oleh penabuh dan pemain bantengannya. Kalau toh ada pembenahan bisa ditambah lagi dengan yang lain tetapi tidak mengurangi esensi gamelan atau musik yang berangkat dari seni silat ini, misalnya terbang atau ceng-ceng (dari Bali) karena Mojopahit dan Bali masih ada ikatan emosionalnya dan sedikit gamelan yang rancak dan atraktif. Biasanya bunyi gamelannya berlaras slendro (kebanyakan musik atau gamelan Mojokerto atau Jawa timur). Akhirnya Bantengan ini menjadi sesuatu yang khas dan kemungkinan akan diminati oleh masyarakat lebih luas seperti seni-seni kitch yang lain: Reyog (Ponorogo), Glipang (Probolinggo), Remo (Surabaya), Topeng (Malang dan Madura), Jangger (Banyuwangi), Ririmau (Palembang), Ondel-ondel (Jakarta) dan Bantengan dari Mojokerto.
Makna Filosofis Seni Bantengan
Sebenarnya kota kecil Pacet kurang lebih 30 km dari kota Mojokerto ke arah selatan sudah terkenal sejak zaman Belanda. Di samping udaranya yang sejuk dan banyak dikunjungi orang kota, ada juga sebuah cabang kesenian rakyat bahkan sudah mentradisi sampai sekarang. Kesenian itu sangat atraktif yang disebut Bantengan. Cabang kesenian ini sering pentas/ pagelaran menghibur masyarakat dalam kegiatan hajatan , ruwatan desa, sunatan, pernikahan terutama untuk memperingati hari kemerdekaan Indonesia. Jenis kesenian ini amat digemari masyarakat kabupaten Mojokerto meskipun keberadaannya tergantung pada kesetiaan dan kecintaan group itu sendiri. Tidak jarang mereka bermain hanya dihargai dengan nilai uang kurang memadai. Bahkan lebih sering secara gratis. “Kesenian banteng adalah bagian hidup kami”, kata Cak Amir pemimpin Bantengan asal Claket Pacet mojokrto. Sebagaimana kakek dan bapaknya dulu (Mbah Siran), Amir mulai mencintai Bantengan sejak masih anak-anak. Alasannya dia mengikuti cabang kesenian sekaligus ikut olahraga pencak silat yang banyak berkembang di surau-surau setempat. Jumlah group Bantengan yang berada di wilayah kecamatan Pacet sampai sekarang ini diperkirakan berjumlah 17 group yang tersebar di desa-desa Claket, Kambengan, Cempoko Limo, Made, Barakan dan lain-lain.
A. Asal-usul
Pada awalnya Bantengan Cuma sebagai pelengkap kesenian rakyat pencakcak silat. Akhirnya Bantengan menjadi sebuah tontonan sendiri. Kalau memiliki Bantengan berarti pencak silat, tapi kalau memiliki pencak silat belum tentu memiliki Bantengan. Asal-usul Bantengan ini konon bermula dari Pacet atau Claket sebagaimana diungkapkan di atas. Namun ada yang mengatakan dari kecamtan Jatirejo dan kecamatan Trawas. Boleh jadi karena daeradaerah saat itu masih terdiri dari hutan liar yang banyak dihuni binatang banteng. Sehingga binatang ini menjadi maskot yang akhirnya melahirkan kesenian tersebut. Salah seorang tokoh Bantengan yang kini sudah almarhum adalah Mbah Siran dari desa Claket Pacet. Sebagai mandor hutan di zaman Belanda, Mbah Siran terkenal sebagai pendekar penvak silat yang energik, segar, menarik dan atraktif. Semenjak Mbah Siran menemukan bangkai banteng yang tergeletak di tepi hutan segera dibawa pulang, dibersihkan tengkoraknya saja. kalau kepala menjangan untuk hiasan rumah (sampai sekarang masih ada rumah berhiaskan kepala menjangan sebagai lambang atau keberadaan seseorang), tetapi tengkorak banteng yang terkesan gagah dan berwibawa mengilhami Mbah Siran untuk melengkapi kesenian pencak silat yang tidak menarik lagi. Awalnya tengkorak itulah yang dipakai langsung untuk topeng Bantengan melengkapi seni pencak silat. Dari Mbah Siran itulah Bantengan mulai diperkenalkan ke masyarakat luas sehingga tontonan pencak silat lebih kaya variasi. Saat itu pencak silat hanya terdiri atas “kembangan” stelan, perkelahian bebas dengan tangan kosong, clurit, kayu dan tombak. Tabuhannya (iringan musik) seperangkat gamelan atau berupa dua buah ketipung, jidor, theng-theng, rebana yang dipukul dengan “gothik" (potongan kayu). Setelah diikutsertakan dalam pencak silat, tontonan itu menjadi tontonan dengan istilah baru “Bantengan”. Kalau mengadakan tontonan di tempat tertentu Bantengan ini masih lengkap dengan pencak silat. Tapi kalau diundang untuk meramaikan karnaval atau pawai hanya Bantengan saja yang dimainkan. Pemain yang memainkan Bantengan ini dikendalikan oleh dadungawuk atau pawangnya. Gerakan mereka atraktif dan amat dinamis apalagi diiringi tabuhan yang berkesan magis. Tidak jarang permainan ini menjadi liar dan berkesan buas apalagi kalau pawangnya tidak mahir. Penerus Mbah Siran adalah Cak Amir tak beda dengan kakek dan bapaknya adalah seorang pendekar dan pemimpin sekaligus.
A.Seni Bantengan dalam Konteks Olahraga
Akal yang sehat terletak pada badan yang sehat, demikian sebuah pepatah. Untuk dapat memainkan Bantengan perlu adanya pikiran yang sehat sehingga bisa mengendalikan permainan serta badan yang sehat agar gerak danlaku yang diperankan bisa sempurna. Ada dasar-dasar olahraga yang perlu dipersiapkan dalam olahraga yang perlu dipersiapkan dalam pola seni Bantengan ini antara lain : kaki yang kuat dalm kuda-kuda, kekekaran dan kesehatan tubuh, kelenturan dalam gerak langkah, serta pernafasan yang panjang. Untuk memenuhi hal itu diperlukan latihan yang rutin dalam bidang olahraga. Olahraga yang membudaya waktu itu adalah seni beladiri masyarakat Jawa yang lebih dikenal dengan pencak silat. Setelah diteliti olahraga ini hanya dimiliki pada budaya Jawa.
B. Seni Bantengan dalam Konteks Olah Hati
Jika kita mendalami budaya, maka banyak cara yang dilakukan oleh nenk moyang kita dalam mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara meditasi, semedi, tapa brata, yoga dan lain-lain yang intinya ingin mendapatkan kesempurnaan hidup sampai manunggaling kawula lan Gusti. Setiap manusia tentu ingin mendapatkan kesempurnaan hidup. Salah satu unsur kesempurnaan hidup adalah efektiknya (tulus ikhlas) permintaan kepada Tuhan. Untuk bisa efektif permintaan pada Tuhan diperlukan latihan olah rohani yang dilandasi olah nafas/ tenaga dalam. Sesungguhnya hampir semua agama mengajarkan cara ini, hanya saja metodenya yang berbeda. Dalam dunia persilatan cara ini banyak dilakukan apakah perguruan modern maupun tradisional. Untuk memerankan peran dalam kelompok seni Bantengan tentu semua ingin melakonkan atau memainkan dengan sempurna. Untuk melakukan dengan sempurna maka olah dan gerak nafas dapat dilakukan antara lain:
1. Konsentrasi memohon kepada Tuhan
2. Menarik nafas panjang dilepas pelan-pelan sambil berdoa mohon sesuai dengan yang diinginkan.
3. Dilakukan terus-menerus sampai mendapatkan langkah dan gerak otomatis menuju kesempurnaan yang dimainkan. Dengan cara ini meskipun keanyakan orang melihat kesurupan, tetapi pada dasarnya adalah permainan untuk mengecoh pengunjung agar puas serta sebagai alat perjuangan agar tidak terjerat oleh hukum karena dianggap kesurupan (gila)
C. Seni Bantengan dalam Konteks Mistik
Budaya nenek moyang kita dalam setiap kegiatan spiritual dan ritual biasanya menggunakan wangi-wangian. Contohnya pada saat “keleman” di sawah diberi sesaji yang diperuntukkan untuk Dewi Sri berupa cikal bakal yang di dalamnya ada unsur wewangian (bunga) memberikan sandingan, dipersembahkan pada waktu punya hajat, sesajen Malam Jumat unsur wewangian tidak aka terlepas. Tradisi semacam itu di dalam agama merupakan bagian dari ibadah, maka dicari unsur wewangian yang seakan identik dengan mistik. Langkah ini dilakukan untuk mengecoh Belanda seakan-akan pemain Bantengan berbuat musyrik. Dengan menggunakan sarana kemenyan (lokal, Arab) dupa, candu atau minyak wangi. Agar murah meriah biasanya memakai kemenyan lokal ditambah minyak wangi, baunya semerbak menyengat. Dengan unsur kepura-puraan pula seakan mendatangkan roh halus sehingga pemain seni Bantengan kesurupan, padahal ia bisa memainkan seni Bantengan bukan karena kesurupan. Karena didukung bau wewangian sehingga mampu menunggaling kawula lan Gusti akhirnya keberhasilan yang diharapkan dalam memainkan seni peran dapat dikabulkan oleh Tuhan.

Sedikit Tentang Desa Claket

  Desa Claket, sebuah nama desa yang ada di kecamatan Pacet, Kab Mojokerto. Desa ini termasuk desa yang cukup terpencil yang ada di kaki gunung Welirang. Desa yang berbatasan dengan Kecamatan Trawas ini cukup terkenal dengan suhu air yang dingin. Konon di Desa ini juga mempunyai acara tahunan, yakni ruwah desa. Di acara ruwah desa ini biasanya di isi dengan menyembelih seekor kerbau jantan sebagai rasa syukur rakyat Desa Claket kepada Allah SWT. Daging kerbau yang telah di sembelih kemudian dibagikan kepada rakyat Desa Claket. Sedangkan darah kerbau tersebut di biarkan di kolongan tempat menyembelih tersebut. Konon darah itu akan di minum oleh harimau putih penunggu Desa Claket tersebut. Acara ruwah desa tak sampai disini saja. Masih ada acara lainnya seperti Pengajian, Sholawat Banjari, Bantengan, Ludruk, Wayang, dan masih banyak lagi. Desa ini terbagi atas tiga dusun, yakni dusun Claket, dusun Mligi, dan dusun Sembung. Dusun Sembung inilah salah satu dusun yang posisinya dekat dengan wisata air panas Pacet.

Sabtu, 19 November 2011

Makam Troloyo Trowulan

         Wisata Religius Makam Troloyo - Dari puluhan situs yang ada di Kab. Mojokerto, ada situs yang dari tahun ke tahun semakin ramai dikunjungi peziarah, yakni Makam Troloyo. Situs ini letaknya di kompleks pemakaman Islam zaman kerajaan Mojopahit di Desa Sentonorejo Kecamatan Trowulan Kab. Mojokerto.

       Obyek utamanya adalah Makam Sayyid Muhammad Jumadil Qubro (Syech Jumadil Kubro). Syech Jumadil Kubro adalah kakek dari Sunan Ampel. Beliau adalah ulama dari Persia yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Makamnya pertama kali diberi cungkup oleh tokoh masyarakat setempat bernama KH Nawawi pada tahun 1940. Di kompleks makam troloyo terdapat dua kelompok makam, yaitu kelompok makam bagian depan, terdiri dari makam Wali Songo dan Kelompok Makam Syech Jumadi Kubro. Kelompok makam inilah yang paling banyak dikunjungi peziarah. Dan kelompok makam bagian belakang terdiri dari dua cungkup, yaitu cungkup pertama makam Raden Ayu Anjasmara dan makam Raden sering disebut sebagai kubur pitu.

Makam Troloyo Mojokerto peninggalan kerajaan Majapahit
       Para peziarah itu datang dari dalam da luar Mojokerto, serta ada pula yang datang dari luar Jawa. Peziarah datang ke makam itu berbagai tujuan. Ada yang datang ingin tahu keberadaan Makam Troloyo, ada pula yang datang untuk memberikan doa kepada leluhur Walisongo dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran. Ada pula pezirah yang datang untuk mendapat ilmu relijius dari para leluhur yang berada di makam itu.

      Kahumas Pemkab Mojokerto Dra Hj Alfiah Ernawati MM di kantornya mengatakan, Makam Troloyo memang menjadi andalan Kab. Mojokerto sebagai wisata relijius. Semakin tahun jumlah peziarah yang datang ke lokasi itu semakin banyak. Untuk memberikan kenyamanan pada peziarah, Pemkab Mojokerto dan Pemprop Jatim merenovasi komplek makam dan tempat parkir yang ada di kawasan itu.

      Menata stan PKL juga telah dilakukan oleh Pemkab Mojokerto, sehingga kondisi itu bisa membuat para peziarah di komplek makam itu terasa nyaman, dan aman. Sehingga peziarah bisa menjalankan ritual religiusnya dengan khusuk.

Wisata Pacet

     Pacet sejak dulu dikenal sebagai kawasan wisata yang mengasyikkan. Lokasinya terletak di lereng utara Gunung Welirang. Di sana kita akan dibikin takjub oleh keahlian Tuhan dalam menciptakan keindahan alamnya. Bentangan pemandangan lereng gunung dan ngarai yang dihiasi hamparan sawah berteras-iring berlatar belakang Gunung Welirang dan Anjasmoro sangatlah mempesona. Dan diantara pesona alamnya itu terdapat beberapa situs purbakala yang menjadi bukti sejarah bahwa sejak masa Mojopahit kawasan Pacet telah menjadi lokasi rekreasi favorit para raja.

          Pacet memiliki banyak obyek wisata dan lokasi-lokasi bersantai untuk refreshing, antara lain Pemandian Ubalan yang dilengkapi dengan arena sepeda air dan taman bermain.  Wanawisata Air Panas yang memiliki kolam air dingin dan air panas, bumi perkemahan, air terjun Coban Canggu dan air terjun Krapyak, serta deretan warung-warung lesehan yang menyuguhkan beragam menu; Wanawisata Bandulan yang memiliki bumi perkemahan; Taman Hutan Raya dengan warung-warung lesehannya yang bersuasana sejuk menyegarkan. Bagi anda yang hobi memancing terdapat beberapa kolam pancing yang representatif dilengkapi dengan lesehan ikan bakarnya yang khas. Bagi anda yang ingin berjalan-jalan tersedia beberapa rute lintas alam/ hiking ringan yang cocok untuk anda sekeluarga di seputar wanawisata Air Panas, Claket, maupun Ubalan. Bagi anda yang ingin hobi berpetualang tersedia rute naik Gunung Pundak dan Gunung Welirang via Claket. Dan tidak ketinggalan di Pacet terdapat beberapa pasar wisata yang menyediakan buah-buahan, bunga, ketela dan hasil bumi lainnya, baik yang mentahan maupun yang sudah olahan, sebagai cindera mata khas Pacet.

Reco Lanang

Reco Lanang, Peninggalan kerajaan majapahit, Mojokerto
Reco Lanang adalah Arca yang terbuat dari batu andesip dengan ukuran tinggi 5,7 meter ini merupakan gambaran dari perwujudan salah satu Dhani Budha yang disebut Aksobnya yang menguasai arah mata angin sebelah timur. Agama Budha Mahayana mengenal adanya beberapa bentuk kebudhaan yaitu Dhyani Bodhisatwa dan manusi Budhi. Dhyani Budha digambarkan dalam perwujudan Budha yang selalu bertafakur dan berada di langit. Dengan kekuatannya ia memancarkan seorang manusi Budha yang bertugas mengajarkan dharma di dunia. Tugas manusi budha berakhir setelah wafat dan kembali ke Nirwana. Demi kelangsungan ajaran dharma, Dhyani Budha memancarkan dirinya lagi ke dunia yaitu ke Dhyani Boddhisatwa. Setiap jaman mempunyai rangkaian Dhyani Budha, Boddhisatwa dan Manusi Budha. Di wilayah Trowulan sekarang sudah banyak pemahat-pemahat yang membuat arca seperti peninggalan kerajaan Majapahit,sehingga tidak sedikit orang dari luar daerah bahkan luar negeri yang memesan patung-patung seperti patung peninggalan dari kerajaan Majapahit.

Air Terjun Coban Canggu Pacet

       Air Terjun Coban Cangu sangat mudah untuk dikunjungi baik dengan kendaraan roda empat ataupun roda dua, hanya berjarak 32 km dari pusat kota Mojokerto. Selama perjalanan menuju lokasi anda akan melihat pemandangan-pemandangan yang begitu indah untuk dilihat seperti panorama alam bernuansa pegunungan. Air terjun coban cangu yang dikelilingi oleh pepohonan yang masih lebat dan alami ini sangat cocok untuk berwisata bersama keluarga atau teman ataupun orang yang tersayang,juga cocok berfoto disekitar air terjun ini. Udara di sekelilingnya terasa sejuk serta panoramanya nampak indah dan masih kelihatan nuansa alami yang akan memberikan pengalaman kesan tersendiri yang tak akan terlupakan.

Hubbul Amin Junior

Al Zalzalah . Adalah sebuah nama group banjari yang ada di Pondok Pesantren Al Amin Sooko Mojokerto. Group ini beranggotan 10 personil. 5 vocal dan 5 penabuh ( 4 terbang 1 bas ) :
M Fajar Mursyid Budianto : Vocal
Masfial Moh Jazuli              : Vocal
Yusron Iman Fajari             : Vocal
M Galang Vigiawan            : Vocal
M Atho'illah                       : Vocal
M Imammuddin Rozaq       : Penabuh
M Rizqi Syahbana              : Penabuh
M Nur Rifqi S                   : Penabuh


M Shirril A'la D                 : Penabuh
Fatkhur Rohmansyah        : Bass

 Penampilan perdana banjari ini adalah pada saat penutupan MS 40 pada tanggal 3 Maret 2010, dengan menggunakan lagu ya badrotim ( versi india ) dan lagu i'lamu yang di peroleh dari salah satu personil group tersebut. Juara harapan 3 se Kabupaten Mojokerto tingkat umum adalah prestasi pertama group tersebut pada saat lomba di masjid tiban daleman. Dengan memakai lagu bismillah badaina dan ya rosulullah group ini cukup menghibur para penonton. Pada saat di undang gebyar di TPQ al hikmah surodinawan, group ini juga sedikit memberikan hiburan bagi penonton yang pada saat itu memakai lagu ya asyqol dan ya muhaimin.